top of page

Palmito - Kolombia dengan bersepeda pt. 6

Hari-hari terakhir di pantai Karibia

Sebelum saya dan Luís melanjutkan perjalanan ke sisi dalam Kolombia, kami sepakat untuk menikmati pantai Karibia terlebih dahulu. Menyegarkan tubuh kami di pantai yang hangat - itulah tujuan kami. Namun, Tolu terlalu berisik untuk selera kami. Tidak puas, kami melanjutkan perjalanan ke San Antero keesokan harinya - harapan terakhir sebelum kami mengucapkan selamat tinggal pada Karibia.


San Antero memiliki suasana yang lebih tenang, jauh dari keramaian turis dan kesenangan. Meskipun kami berada di sana pada akhir pekan, pantai itu menyenangkan untuk dikunjungi dan dinikmati. Enak banget!


Di perkemahan tempat kami menginap selama beberapa malam, kami bertemu dengan beberapa pelancong dari Argentina. Mereka berhenti dari pekerjaannya, membeli van, mengubahnya menjadi van kemping sendiri, dan melakukan perjalanan keliling Amerika Selatan dalam setahun. Saat ini, di tahun 2020, ketika kami kembali ke Portugal dengan virus Corona, kami memiliki impian untuk terus bepergian dan tinggal di van.

Dari San Antero kami harus berpisah dengan pantai Karibia. Saatnya kami melanjutkan perjalanan kita di dalam Kolombia.


Palmito

Tujuan berikutnya setelah San Antero adalah Tuchin. Ini adalah kota kecil tempat topi khas Kolombia berasal. Beruntungnya, kami punya teman berasal dari Tuchin, John Mario - ketemu di Puerto Colombia. Singkatnya, kami bisa menginap di rumah orang tuanya.


Rupanya rumah John Mario tidak persis di Tuchin. Rumahnya terletak 14 km sebelum kota, tetapi tidak ada alamat pasti. John hanya memberi kami nama orang tuanya dan screenshoot peta dari ponselnya. Hehe .., ini membawa saya ke memori masa kecil saya tentang rumah kakek nenek saya. Satu-satunya cara tukang pos dapat mengirimkan paket adalah dengan bertanya ke tetangga-tetangga sekitar.


Lucu ya?! Cara ini masih bertahan di masa sekarang? Tapi saya pikir itu juga hal yang baik. Ini menunjukkan bahwa komunitas sosial masih eksis di dunia modern ini. Orang-orang saat ini cenderung individualis yang kadang-kadang bahkan tidak tahu siapa yang tinggal di dekat mereka.



Bagaimana pun juga, perjalanan ke Palmito menyenangkan. Kami mengendarai sepeda kami melalui pedesaan hijau yang damai. Setelah beberapa upaya bertanya kepada penduduk setempat di mana rumah John, kami akhirnya menemukannya. Namun, orang tua John tidak ada di rumah. Kata bibi John, mereka masih bekerja.


Pada awalnya, bibi John bersikap skeptis terhadap kami. Fakta bahwa dua orang asing datang ke rumah sederhana dengan sepeda sudah cukup membuatnya khawatir. Tetapi setelah beberapa kali telepon kesana-kemari, dia menyambut kami dengan hangat dan bilang dia akan memasak makan siang untuk kami.


Saat kami menunggu di teras, kami menikmati pohon-pohon di sekitar kami. Ada pohon sawo di depan rumah dan beberapa pohon asam di sekitarnya. Meski begitu, cuacanya masih panas dan lembab. Kalau bibi Jhon tidak menyalakan kipas angin di teras, kami pasti berkeringat.


Sumber air rumah tersebut berasal dari sebuah danau di depannya. Kami melihat ayam keluar masuk rumah dengan bebas. Tidak ada pintu di rumah ini, bahkan di kamar mandi. Satu-satunya yang menutupi kamar mandi dan kamar tidur adalah tirai.


Setelah kami makan siang, anggota keluarga kembali ke rumah. Kami berbicara dan mengenal mereka. Ayah dan keluarga Jhon dulu tinggal di kota yang lebih besar. Dia pikir dia sudah cukup dengan kehidupan yang hiruk pikuk dan pindah ke sini. Ia sangat menikmati kehidupan pedesaan yang sederhana, tenang, dan kurang laris.


Kegiatan ayah John pada pagi hari biasanya pergi ke peternakan untuk memberi makan sapi atau ikan yang dimilikinya di kolam besar di belakang rumah. Lalu, di sore hari, hiburan mereka hanya TV di tengah ruang tamu.


Kami juga bertemu Camilla (8), saudara perempuan Jhon, dan Sofia (7), keponakan Jhon. Mereka sangat imut! Meskipun saya tidak bisa berbicara bahasa Spanyol, mereka akan berbicara dan bermain dengan saya. Ayah John berkata bahwa mereka 100% penduduk asli Kolombia. Luis berpikir kalo saya juga bisa menjadi penduduk asli Kolombia karena saya mirip mereka kecuali mata Asia saya.


Ibu Jhon pulang kerja sore hari. Dia adalah pengrajin lokal yang membuat sombrero vueltiao - topi tradisional Kolombia yang terbuat dari tebu. Dia menunjukkan kitab sombreronya. Buku itu penuh dengan sejarah, jenis kepang, dan cara mewarnai. Dia memberi tahu kami banyak hal tentang topi itu, dan dia bangga menjadi salah satu seniman karena sombrero vueltiao adalah salah satu simbol Kolombia.


Meski rumahnya sederhana, keluarga John memberikan yang terbaik untuk kami. Mereka bahkan menyediakan kamar untuk kami tidur daripada membiarkan kami tidur di tenda di depan rumah.



Sebelum berangkat keesokan paginya, kami berfoto bersama dengan anggota keluarga.

 

Setelah ini kami akan gowes nanjak ke pegunungan Andes. Jangan ketinggalan ya!

 


SEDIKIT
TENTANGKU

Selamat datang di KLETIKANKU!

 

Di sini, saya bercerita petualangan, pengalaman, dan gaya hidup yang kuyakini baik untukku.

Tidak ada daftar 10 teratas di sini.

Saya juga punya video-video yang

saya dan Luís buat selama perjalanan kami - di bawah ini!

 

Saya lebih dikenal sebagai Anyisa, seorang pesepeda turing Indonesia.

Jangan lupa ikuti saya di Instagram!

ARTIKEL TERKAIT

namibia dg bersepeda.jpg

eBook

Namibia dengan Bersepeda

namibia dg bersepeda2.jpg
kotak.jpg
Flazz BCA
Mandiri E-Toll

atau

Uang elektronik bertema bike touring yang bisa digunakan untuk transaksi non tunai: Membayar tol dan parkir, belanja di minimarket, dll. Mau?

bottom of page